Zakat Bukan Tanda Dermawan

"Seharusnya, pemerintah berterima kasih, karena sudah membagi-bagikan zakat kepada orang miskin". Begitu kutipan perkataan salah seorang anggota keluarga yang memberi zakat pada tragedi Pasuruan. Kebanyakan orang merasa salut dengan orang-orang dermawan yang membagi-bagikan zakat sebegitu banyaknya. Padahal, jika saja disadari bahwa zakat adalah kewajiban. Sama wajibnya dengan sholat dan puasa. Apa balasannya jika orang tidak mau berzakat? Dosa. Walaupun untuk berzakat ini ada kriteria khusus yang dipenuhi.

Dalam setiap harta yang kita miliki, 2,5% nya adalah bukan harta milik kita. Tetapi harta milik kaum dhuafa. Maka cara memberikan zakat pun berbeda dengan infaq maupun shodaqoh. Karena itu harta mereka (dhuafa) adalah hak mereka, maka berikanlah hak mereka itu dengan cara yang pantas, sopan santun dan baik. Ibaratnya, kita berhutang pada mereka sebesar 2,5% dari harta kita, maka untuk membayar hutang tersebut kitalah yang datang mengantarkan kepada mereka. Bukan mereka yang datang, bahkan sampai antri berdesak-desakkan.



Hal ini telah diajarkan sejak zaman Rasulullah saw. Bahkan pada zaman kekhalifahan 'Umar bin Abdul Aziz yang wilayah pemerintahannya dari Asia sampai Afrika dan sebagian Eropa, pembagian zakat dilakukan dengan berkeliling mencari orang-orang yang berhak menerima zakat. Namun nyatanya pada saat itu, tidak ada satupun orang yang berhak menerima zakat, karena mereka sudah makmur dan sentosa.

Kedermawanan itu memang identik dengan orang kaya, tetapi sifat itu bisa dimiliki oleh siapa saja. Ketika zakat yang dikeluarkan hanya sebatas mengugurkan kewajiban, maka dapat dikatakan bahwa zakat bukan tanda kedermawanan.

Wallahu 'alam

No comments

Powered by Blogger.