Nafkah tak Hanya Materi

Banyak orang -termasuk saya sebelumnya- menganggap nafkah yang diberikan suami kepada istrinya -hanya- adalah materi. Ada juga yang beranggapan nafkah itu terbagi dua, yaitu nafkah lahir (materi) dan nafkah bathin (seks -biasanya-). Padahal nafkah itu jauh mencakup banyak hal.

Sebuah cerita sederhana tentang sepasang suami istri dan seorang anaknya yang masih kecil, dimana sang suami bekerja di sebuah perusahaan dan mempunyai penghasilan yang tidak mencukupi untuk keluarganya. Tapi kerukunan dan kebahagiaan melingkupi keluarga itu.

Setiap hari di waktu kerja, ketika jam tepat menunjukkan waktu pulang, tanpa banyak cakap sang suami segera bergegas pulang. "Selama tak ada pekerjaan yang urgent buat besok pagi, atau tidak bisa dikerjakan di rumah" begitu pikir sang suami. Karena hal ini terjadi setiap hari, maka teman-teman kantornya sampai hapal kebiasaan sang suami ini. Sering sekali mereka mencandai hal ini. Tapi hal itu hanya ditanggapinya dengan senyum.

Sampai suatu kali akhirnya sang suami menjelaskan alasan kenapa ia melakukan kebiasaan itu kepada temannya. "Saya hanya mencoba mengamalkan ajaran Ustad saya. Kata beliau kita mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak2 yang telah kita ikat dengan perjanjian. Contohnya perusahaan tempat kita bekerja, mempunyai hak atas kita selama 8 jam dari jam masuk sampai jam pulang. Maka kita harus memenuhi hak itu. Lalu istri dan keluarga. Mereka juga punya hak atas kita, karena kita telah mengikat perjanjian dalam sebuah "kontrak cinta". Waktu yang diberikan kepada keluarga harus waktu terbaik seperti waktu yang kita berikan kepada perusahaan, bukan waktu sisa. Maka ketika waktu pulang datang, habislah hak perusahaan terhadap saya, dan dimulailah hak keluarga atas saya."

"Ah, jika materi tidak cukup saya berikan kepada keluarga, maka waktu tidak boleh kurang saya berikan kepada mereka", begitu bathin sang suami. Sebuah pelajaran besar dari orang-orang kecil dan sederhana. Pernah suatu saat sang suami ditawari pekerjaan sampingan yang dilakukan pada malam hari dan hari Sabtu. Dimana waktu untuk keluarganya terpaksa berkurang. Sebelum memutuskan untuk menerima pekerjaan itu, sang suami mengajak istrinya untuk berunding. "Yang, aku ditawarkan pekerjaan yang kerjanya di malam hari dan di hari Sabtu. Pekerjaan ini dapat membantu menambah penghasilanku buat keluarga kita. Tapi, tentu kamu tahu, konsekuensinya adalah waktu untuk berkumpul keluarga kita jadi berkurang. Maka aku tawarkan kepadamu, apakah kamu ingin aku memberimu materi atau kamu ingin aku memberi kamu waktu?". Dengan tatapan lembut sang istri berkata "Cukuplah waktu dan perhatianmu yang kubutuhkan darimu". Maka dengan senyuman yang mantap, sang suami menolak tawaran pekerjaan itu.

Sesungguhnya keadaan keluarga ini bisa dianggap kurang. Tapi rasa cukup (qonaah) mereka atas apa yang mereka miliki, menumbuhkan rasa syukur kepada Allah swt. Dan Allah swt membalasnya dengan memberi mereka kebahagiaan. Apa lagi yang dicari di dunia ini selain kebahagiaan?

Dibalik kesabaran sang istri, tumbuh pula rasa syukur karena sang suami masih punya waktu untuk mengantar dan menjemputnya, sang suami ada ketika ia butuhkan. Dan sang suami membantu tanpa ia meminta. Sementara dibalik kesyukuran sang suami karena mempunyai istri yang demikian pengertian, ia memiliki rasa sabar untuk terus berusaha memenuhi kebutuhan keluarga dan berdoa pada Yang Maha Memiliki.

Teringatlah sang istri atas janji suaminya sebelum mereka menikah "Aku tidak bisa berjanji untuk bisa mencukupi kebutuhanmu. Aku tidak bisa berjanji untuk memberimu sesuai yang kamu inginkan. Tapi aku berjanji, bahwa aku tidak akan pernah berhenti berusaha untuk itu."
Maka itulah yang membuat sang istri bertahan diterpa badai yang berusaha merobohkan mereka. "Toh nafkah tak hanya materi.." begitu bathin sang istri.

No comments

Powered by Blogger.