Dibalik Perbedaan Hari Raya
Dalam agama Islam ibadah formal (mahdhah) selain ditentukan caranya juga ditentukan waktu-waktu pelaksanaannya. Patokan utama waktu ibadah adalah matahari dan bulan. Shalat dilaksanakan sesuai dengan posisi matahari terhadap lokasi kita berada. Maka nama-nama shalat fardhu ( Shubh (Fajr), Zhuhr, `Ashr, Maghrib dan `Isya) sebenarnya adalah nama-nama waktu dalam bahasa Arab.
“…sesungguhnya shalat itu bagi orang-orang yang beriman adalah suatu ketentuan yang diwaktukan.” (QS 4:103)
Ibadah formal selalu terkait dengan waktu.
Puasa dan haji adalah ibadah yang waktu pelaksanaannya berpatokan pada hilal. Awas: hilal bukan qamar!!!
Qamar adalah bulan, yaitu benda langit yang menjadi satelit bumi dan selalu bergerak mengelilingi bumi. Bentuk qamar adalah bulat seperti bola. Cahaya matahari yang menabrak bulan (qamar) sebagiannya akan dipantulkan ke bumi, ke posisi kita berada. Pantulan cahaya itu mula-mula nampak seperti sabit, lalu menebal dan membesar menjadi bundar. Saat pantulannya berbentuk sabit disebut hilal (Inggris: crescent) dan saat berbentuk bundar disebut badr (Inggris: full moon). Ingat saja syair Anta Syamsun Anta Badrun (Engkaulah Matahari, Engkaulah Purnama). Patokan waktu puasa dan haji adalah hilal!, bukan qamar (bulan) atau syams (matahari).
"Jangan kamu berpuasa sampai kamu meru'yah hilal, jangan kamu ber`idul fithri sampai kamu meru'yahnya, jika kamu terhalang mendung tetapkan qadarnya (genap 30 hari)." <Shahih Bukhari dan Muslim>
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal itu. Katakan,
hilal-hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia juga untuk berhaji.” (QS 2:189)
Maka sebelum menunaikan ibadah puasa dan haji orang perlu mengetahui kapan munculnya hilal untuk menandai masuknya bulan Ramadhan dan bulan Dzul-Hijjah. Sebab puasa Ramadhan dan haji hanya dilakukan pada waktu tertentu saja.
Tentang puasa Ramadhan: “Pada hari-hari yang telah ditentukan…” (QS 2:184)
Tentang haji: “Haji itu pada bulan-bulan yang sudah ditentukan…” (QS 2:197)
Pentingnya Ilmu Falaq untuk Hisab dan Rukyat Hilal
Karena ibadah formal seorang muslim sangat terkait dengan posisi matahari dan bulan maka sedari dulu umat Islam sudah rajin mengamati benda-benda langit tersebut. Mencatat saat-saat penampakannya, posisinya, bentuknya, letak dan ketinggiannya, arah pergerakannya, lalu mengukur, menghitung dan memformulasikannya menjadi rumus-rumus baku. Bidang sains yang pertama kali berkembang dalam dunia Islam adalah ilmu astronomi (ilmu falaq). Saat ini ilmu falaq sudah berkembang sedemikian majunya sehingga perkiraan-perkiraan hisab sangat akurat. Apalagi didukung dengan teknologi optik untuk mengamati langsung benda-benda langit, maka rukyat dan hisab dalam ilmu falaq saat ini sangat dapat diandalkan, jauh melebihi kemampuan manusia zaman dulu.
Sayangnya dunia pendidikan Islam di Indonesia dalam masa penjajahan sempat demikian terbelakangnya sehingga tertinggal dalam bidang sains. Banyak ustadz lulusan pesantren pun lemah dalam pemahaman sains, khususnya ilmu falaq, padahal pelaksanaan syariat Islam memerlukan dukungan sains sebagai alat penopangnya. Belum lagi keadaan ini tersembuhkan, mulai era 1980-an dunia dakwah di Indonesia dibanjiri dengan pemahaman gaya Wahabi-Salafi yang terlalu harfiyah (literal) terlalu menyederhanakan (over simplistic). Slogan-slogan seperti: “Menjadi muslim yang kaffah cukup berpegang pada Qur’an dan Sunnah saja…” kedengarannya memang sangat “memurnikan” padahal justeru mengaburkan permasalahan. Dengan itu maka agama tak perlu lagi dipahami dan dilaksanakan dengan melibatkan sains, pertimbangan sosial budaya dan tujuan-tujuan hikmah yang hendak diraihnya. Selain mengesankan keberagamaan zaman kini hendak ditarik menjadi keberagamaan seperti di zaman Nabi Muhammad SAW dulu, dalam budaya gurun pasir abad ketujuh, pola fikir seperti itu juga mendorong munculnya fatwa-fatwa yang tidak realistis. Termasuk dalam penentuan saat masuknya 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 1 Dzul-Hijjah yang berimplikasi pada perbedaan lebaran Idul Fithri dan Idul Adha.
Data-data Hilal
Indonesia memang bukan negara Islam. Namun karena banyak penduduknya yang beragama Islam maka negara (pemerintah) perlu membentuk Departemen Agama untuk membantu umat Islam menjalankan kewajiban-kewajiban mereka. Di Departemen Agama ada Badan Hisab dan Rukyat (BHR) yang tugasnya memfasilitasi upaya-upaya penentuan masuknya 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 1 Dzul-Hijjah yang bagi umat Islam sangat penting untuk memulai ibadah puasa Ramadhan, Idul Fithri dan Idul Adha.
Dalam kerjanya BHR membentuk lebih dari 40 pos pengamatan hilal di seluruh Indonesia, bekerjasama dengan Jawatan Hidrologi dan Oseanografi TNI-AL, Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN), Peneropongan Bintang Boscha, Planetarium Jakarta, Badan Meteorologi dan Geofisika, para ahli hisab dan rukyat dari berbagai ormas Islam. Berdasarkan kerja semua pihak itu bersama-sama diadakan sidang itsbat (penetapan) tentang awal bulan baru dalam kalender Hijriyah. Jadi penetapannya bukan pemerintah yang bikin. Ini perlu ditekankan karena di tengah keadaan kredibilitas pemerintah yang selalu dipertanyakan akibat banyaknya KKN banyak orang menyangka penetapan awal-awal bulan Hijriyah itu pun penuh rekayasa dan penyimpangan? Tidak, Ini soal fakta alam, yang dunia internasional pun dapat memantaunya dengan obyektifitas tinggi.
1. Hilal 1 Syawal 1428 H
Berdasarkan Hisab:
Ijtimak akhir Ramadhan1428 H terjadi pada 29 Ramadhan yang bertepatan dengan: Kamis Legi, 11 Oktober 2007 pukul: 12:02:29 WIB.
Saat terbenam matahari di wilayah Timur Indonesia:
bulan (qamar) sudah lebih dulu terbenam, tak ada hilal.
Saat terbenam matahari di Yogyakarta:
bulan (qamar) masih berada pada ketinggian 00 37’ 31” (sangat rendah).
Berdasarkan Rukyat:
Tak satu pun pos pengamatan hilal di seluruh Indonesia menjumpai adanya hilal pada Kamis maghrib, 11 Oktober 2007.
Hal yang sama juga terjadi di negara-negara sekitar Indonesia.
Sebabnya antara lain karena memang ketinggian bulan masih sangat rendah, sehingga hilalnya tidak nampak. (Ingat: hilal bukan bulan / qamar).
Sidang Itsbat menetapkan:
Kamis malam Jum`at belum masuk 1 Syawal, berarti Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari. Hari Jum’at 12 Oktober 2007 adalah 30 Ramadhan 1428.
Hari Raya Idul Fithri (1 Syawal 1428 H) jatuh pada:
Sabtu, 13 Oktober 2007.
Mengapa Muhammadiyah berbeda?
Muhammadiyah memperkirakan dengan hisab, saat matahari terbenam pada Kamis maghrib 11 Oktober 2007 bulan masih ada di atas ufuk dengan ketinggian 00 37’ 31”.
Muhammadiyah mengartikan hilal sama dengan qamar. Maka dengan ketinggian bulan seperti itu diartikan hilal sudah wujud. Disebutlah wujudul hilal, padahal sebenarnya wujudul qamar.
Muhammadiyah tidak merasa perlu melakukan rukyat. Maka dinyatakanlah Kamis malam Jum’at sebagai masuknya awal bulan baru, dan Jum`at 12 Oktober 2007 sebagai hari Idul Fithri (1 Syawal 1428 H).
2. Hilal 1 Dzu-Hijjah 1428 H
Berdasarkan Hisab:
Ijtimak akhir bulan Dzul-Qa`dah 1428 H terjadi pada:
Senin, 10 Desember 2007 Pukul: 00:42 WIB.
Saat matahari terbenam hari Senin 10 Desember 2007
bulan masih di atas ufuq dengan ketinggian 5° - 6°.
Karenanya hilal mustahil dapat dilihat pada Ahad maghrib 9 Desember 2007, karena posisi bulan masih di bawah ufuq.
Berdasarkan Rukyat:
Saat maghrib Ahad 29 Dzul-Qa`dah tak terlihat hilal.
Sidang Itsbat menetapkan:
Ahad 9 Desember 2007 malam Senin belum masuk bulan baru.
Bulan Dzul-Qa`dah digenapkan menjadi 30 hari, 30 Dzul-Qa`dah adalah Senin 10 Desember 2007 adalah:
1 Dzul-Hijjah 1428 jatuh pada: Selasa 11 Desember 2007.
9 Dzul-Hijjah jatuh pada: Rabu 19 Desember 2007.
10 Dzul-Hijjah (Idul Adha) terjadi pada: Kamis 20 Desember 2007.
Mengapa Arab Saudi Berbeda?
Pemerintah Arab Saudi sangat dipengaruhi oleh ulama yang menganut paham Islam versi Wahhabi-Salafi yang ciri-ciri utamanya antara lain adalah:
Sumber hukum Islam hanyalah al-Qur’an dan al-Hadits saja.
Pemahaman terhadap teks-teks al-Qur’an dan al-Hadits dilakukan secara harfiyah. Apa yang tertulis di al-Qur’an dan al-Hadits dipahami apa adanya sesuai dengan bunyinya. Pemahaman seperti ini disebut juga pemahaman literal atau scriptural. Ada juga yang menyebutnya textual.
Sebagai konsekuensinya maka dalam penetapan suatu hukum:
Tidak diperbolehkan adanya penafsiran yang kontekstual dan ta’wil.
Tidak dipertimbangkannya tujuan hukum (ghayah tasyri`) dan manfaat hukum (hikmah tasyri`).
Sains tidak dilibatkan, karena bukan bagian dari al-Qur’an dan al-Hadits, juga pelibatan sains dalam memahami nash dianggap sebagai ta’wil.
Namun sebenarnya tidak semua ulama di Arab Saudi berpendirian demikian. Banyak juga ulama yang lebih intelektual, juga para ilmuwan, yang umumnya masih berusia muda yang berbeda pendapat dengan yang tua-tua. Hanya saja mereka belum memegang jabatan yang strategis di pemerintahan. Hal ini nampak dalam perbedaan-perbedaan pendapat yang semakin sering mencuat di media-media publik.
Di Makkah ada universitas terkenal yang banyak memilki ilmuwan, baik agama maupun sains, yaitu Universitas Ummul Qura’. Universitas ini pula yang paling berhak menentukan pencetakan kalender resmi Hijriyah yang disebut Taqwîm Ummul Qurâ’ yang biasanya digantungkan di dinding atau di meja-meja kantor serta dikutip oleh media-media massa.
Namun khusus penentuan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 1 Dzul-Hijjah Taqwîm Ummul Qurâ’ diabaikan, betapapun kalender tersebut disusun dengan kaidah ilmu falaq yang modern dan dilakukan oleh para ahlinya yang mumpuni. Penentuan ketiga tanggal tersebut dilakukan oleh Majlis al-Qadhâ al-A`lâ (Majlis Pengadilan Tinggi) yang masih banyak dikuasai oleh ulama tua Wahhabi-Salafi yang ortodoks dan kurang apresiatif terhadap sains. Dalil utama mereka adalah dua hadits Nabi SAW:
Ibnu Umar meriwayatkan:
"Masyarakat (Madinah) beramai-ramai merukyat hilal Ramadhan, tapi gagal.
Lalu aku memberitahu Rasulullah bahwa aku telah melihatnya.
Maka beliau pun berpuasa esok harinya, begitu juga seluruh masyarakat."
(Nailul Authar, Juz IV/209).
Anas bin Malik meriwayatkan:
"Beberapa pamanku bercerita bahwa suatu hari mereka terhalang melakukan rukyat hilal Syawal. Maka esok paginya mereka tetap berpuasa.
Pada petang harinya datang serombongan orang dan bersaksi di hadapan Rasul bahwa mereka telah melihat hilal, langsung Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk berbuka dan esok harinya melakukan sholat Idul Fitri."
(Nailul Authar, Juz IV/211).
Dua hadits di atas dipahami secara literal, maka mereka berpendapat bahwa yang terpenting dalam penentuan masuknya awal bulan baru bukanlah hisab, bukan pula rukyat yang kita lakukan sendiri, tapi kesaksian (syahadah). Jelasnya mereka berpendapat:
Hisab tak boleh digunakan untuk menetapkan maupun meniadakan hukum.
Jika ada orang mengaku telah melihat hilal maka kesaksiannya dapat langsung diterima, meski hisab mengatakan tidak mungkin.
Tak ada perbedaan antara ahli hisab (astronomy) dan munajjim (ahli nujum, astrology), para munajjim itu dusta meskipun mereka benar.
Mereka sangat bersandar pada kesaksian (syahadah) tanpa memedulikan apakah syahadah itu ilmiah atau tidak, bersumber dari pihak-pihak yang otoritatif atau tidak.
Berikut ini adalah contoh-contoh kasus yang muncul di sana.
1 Dzul-Hijjah 1428 H di Arab Saudi
Berdasarkan hisab dan kalender Ummul Qura’:
Ahad, 9 Desember 2007:
Matahari terbenam: pukul. 17:39
Ijtimak terjadi pada: pukul. 20:42 (jauh sesudah maghrib!)
Tinggi hilal saat maghrib: -5°15‘
Karena itu:
Hilal mustahil terlihat pada Ahad sore, karena belum terjadi ijtimak dan bulan masih di bawah ufuq.
Senin 10 Desember 2007 masih bulan lama, 30 Dzul-Qa`dah
1 Dzul-Hijjah 1428 H jatuh pada: Selasa, 11 Desember 2007
9 Dzul-Hijjah (Wuquf) jatuh pada: Rabu, 19 Desember 2007
10 Dzul-Hijjah (Idul Adha) jatuh pada: Kamis, 20 Desember 2007
Namun apa yang terjadi? Pada Senin 10 Desember 2007 koran “Arab News” dan “Saudi Press Agency” (kantor berita Arab Saudi) memuat pengumuman dari Majlis al-Qadhâ al-A`lâ (Majlis Pengadilan Tinggi) yang berbunyi:
Isi Pengumuman:
Berdasarkan saksi-saksi yang melihat hilal pada maghrib Ahad 9 Desember 2007 maka:
1 Dzul-Hijja 1428 H mulai malam Senin 10 Desember 2007
9 Dzul-Hijja (Wukuf): Selasa, 18 Desember 2007.
10 Dzul-Hijjah (Idul Adha): Rabu, 19 Desember 2007.
Pertanyaan:
1. Bagaimana mungkin hilal terlihat pada Ahad maghrib, padahal ijtimak baru terjadi pukul 20:42?
2. Yang menarik, header berita pengumuman artinya: Riyadh, 30 Dzul-Qa`dah 1428 H, bertepatan 10 Desember 2007 M.
Jadi, pada 10 Desember yang bertepatan dengan 30 Dzul-Qa`dah diumumkan pula bahwa 10 Desember adalah 1 Dzul-Hijjah.
1 Syawal 1420 H di Arab Saudi
Pemerintah Arab Saudi mengumumkan bahwa:
Jum’at, 7 Januari 2000 -> Idul Fithri (1 Syawal 1420 H).
Padahal sehari sebelumnya, Kamis 6 Januari 2000:
Matahari terbenam pukul: 17:44
Ketinggian Bulan -4° 59' (masih di bawah ufuq).
Ijtimak terjadi pkl. 21:14 (jauh sesudah maghrib).
Karenanya tak mungkin terlihat hilal pada Kamis sore itu. Ketinggian bulan masih di bawah ufuq, ijtimak pun belum terjadi. Maka protes pun bermunculan, antara lain dari:
The Arab Union for Astronomy & Space Sciences (AUASS).
Sheikh Yusuf Al-Qaradawi:
o Jum’at 7 Januari 2000 adalah tanggal 30 Ramadhan, bukan 1 Syawal.
o Muslim yang mengikuti Saudi berlebaran hari Jum’at
harus menambah puasa Ramadhan-nya satu hari lagi.
Pembuktian telak:
Majalah “Ad-Dawah” 6 Shawwal 1420 melaporkan “kekeliruan Idul Fithri 7 Januari 2000”. Koran “Arab News” 11 Februari 2000 memuat fakta:
5 Februari 2000 terjadi gerhana matahari yang berlangsung hingga lewat maghrib. Gerhana matahari menandai terjadinya ‘ijtimak’. Wajar tak nampak hilal pada 5 Februari.
6 Februari sore, hilal terlihat, berarti keesokan harinya...
7 Februari adalah 1 Dzul-Qa`dah.
Kalau:
1 Syawwal jatuh hari Jum’at 7 Januari, padahal
1 Dzul-Qa`dah terbukti jatuh pada pada 7 Februari,
Berarti:
Syawwal berlangsung selama 31 hari! (Kekeliruan terbukti, tak ada bulan Hijriyah 31 hari).
Dengan kekeliruan itu pemerintah Arab Saudi lalu membentuk 6 Komite Rukyatul Hilal (di Makkah, Riyadh, Qassim, Hail, Tabuk, dan Asir) yang tiap komite terdiri dari Ulama, Ahli Astronomi, Pejabat Pemerintah dan para relawan. Efektifkah kerja keenam komite tersebut?
1 Dzul-Hijjah 1426 H di Arab Saudi
Dr. Salman Zafar Shaikh melaporkan dari Riyadh: (http://moonsighting.com/1427zhj.html):
Rabu petang, 20 Desember 2006, saya bersama Komite Rukyah Hilal Riyadh melakukan pengamatan hilal awal Dzul-Hijjah, tapi kami tak melihat hilal.
Ke-5 Komite Rukyah Hilal lain (Makkah, Qassim, Tabuk, Hail, dan Asir) juga melaporkan tak melihat hilal.
Begitu juga berdasarkan Taqwim Ummul Qura’.
Tapi pemerintah Arab Saudi membuat keputusan yang mendahului.
Lagi-lagi berdasarkan kesaksian yang tidak logis.
Hisab Universitas Ummul Qura
(Taqwim Ummul Qura)
Keputusan Majelis
Pengadilan Tinggi Saudi Arabia
1 Dzul-Hijjah
Jum'at 22 Des 2006
Kamis 21 Des 2006
Wuquf
Sabtu 30 Des 2006
Jum'at 29 Des 2006
Idul Adha
Ahad, 31 Des 2006
Sabtu 30 Des 2006
Lalu saya menjumpai Hamza Al-Muzani, penulis yang mengeritik penetapan Idul Adha berupa artikel “Kesaksian yang Mustahil” di "Al-Watan" (Kamis, 10 Dzul-Hijjah 1425). Ia menyatakan: “saksi yang menetapkan Idul Adha tahun lalu (2003 M) adalah seorang kakek-kakek berumur 80 tahun”. Setelah menulis kritik itu ia dikenai tuduhan yang dibuat-buat dan dijatuhi hukuman 4 bulan penjara dan 200 cambukan! Syukurnya, belakangan Raja Abdullah (raja yang paling intellektual) mau mendengar pendapat para ilmuwan dan membatalkan hukuman tersebut.
Siapakah sang saksi itu:
Kelak banyak orang pun tahu, kekeliruan Ramadhan dan Idul Fitri 1427 pun bersumber dari kesaksian kakek yang sama, yaitu Al-Khudayri dari Huta Sudayr. Kakek ini yang mengaku melihat hilal awal Dzul-Hijjah 1427, padahal ke-6 Komite Rukyah Hilal dengan segala kelengkapan alatnya tidak melihat hilal dan hisab pun memang memustahilkannya.
Majlis Pengadilan Tinggi Arab Saudi sering membuat keputusan mendadak hanya berdasarkan pengakuan kesaksian seseorang tanpa memeriksa kewenangan dan kemampuan orang itu, padahal kesaksian itu bertentangan dengan ilmu falaq yang sudah teruji 1400 tahun lebih. Rukyat yang dilakukan oleh Komite Rukyatul Hilal, yang terdiri dari para ilmuwan/ulama mumpuni yang menggunakan teropong dan komputer canggih, juga sering diabaikan. Semua itu hanya karena satu alasan saja: Doktrin Wahhabi.
“Sumber agama cukup al-Qur’an dan al-Hadits saja. Keduanya pun cukup dipahami secara harfiyah saja. Maka, bila hadits menyatakan kesaksian seseorang cukup dijadikan dasar untuk menyatakan masuknya awal bulan baru, hal-hal lainnya termasuk sains yang canggih sekalipun boleh dilibatkan lagi.”
Akibatnya kalender di Arab Saudi sering berubah secara mendadak pula, seperti yang nampak di bawah ini. Di Taqwim Ummul Qura tertulis 1 Ramadhan 1420 H jatuh pada 9 Desember 1999. Tapi pada sebuah surat kabar, tanggal 1 Ramadhan bertepatan dengan 8 Desember 1999. Wuih, bagaimana nih Arab Saudi?
Hal lain yang memprihatinkan adalah Majlis Pengadilan Tinggi Arab Saudi pernah membuat pengumuman di koran ar-Riyadh yang meminta umat Islam untuk melakukan rukyatul hilal pada tanggal 28 Sya`ban 1427 H. Sebuah hadits Nabi SAW menyatakan bahwa satu bulan itu 29 hari atau 30 hari. Ilmu falaq pun tidak pernah mengajarkan ada bulan hijriyah yang cuma 28 hari. Syukurnya tidak ada orang “yang mengaku” melihat hilal pada tanggal tersebut. Bayangkan kalau ada yang mengakuinya, lalu kesaksiannya diterima begitu saja, berarti terjadi bulan Sya`ban yang cuma 28 hari!? Pernah di tahun 1984 orang di Arab Saudi berpuasa Ramadhan hanya selama 28 hari, hanya karena ada yang mengaku melihat hilal di hari ke-28. Pengumuman tersebut termuat dalam koran ar-Riyadh 20 September.
1 Ramadhan 1426 H di Arab Saudi
Data di bawah ini menunjukkan bagaimana Arab Saudi menetapkan 1 Ramadhan pada Sabtu 23 September 2006 padahal pada Jum`at maghrib posisi bulan masih di bawah ufuq. Saat kejadian ini berlangsung penulis sedang berada di Makkah dan menyaksikan langsung kerisauan orang-orang yang mengerti ilmu falaq di sana, juga Timur Tengah umumnya.
Jum'at, 22 Sep 2006
Tinggi Bulan saat Mghrib
Sabtu, 23 Sep 2006
Ahad, 24 Sep 2006
Banda Aceh
-1° 51’ 13”
INDONESIA
1 Ramadhan
Makkah
-0° 14’ 00”
ARAB SAUDI
1 Ramadhan
Komentar Syeikh Ali Jum'ah (Mufti Mesir):
“Siapa yang mulai puasa Ramadhan hari Sabtu, berarti ia telah puasa sehari dari bulan Sya'ban”.
1 Syawal 1428 H di Arab Saudi
Data astronomis Ilmu Falaq untuk Makkah menunjukkan bahwa pada Kamis, 11 Oktober 2007:
Ijtimak pk. 08:02
Bulan terbenam pk. 17:59 (sebelum matahari terbenam)
Cairo, bulan terbenam pk. 17:55
Matahari terbenam pk. 18:00
Tinggi Qamar saat Matahari terbenam -1° 1,7' (di bawah ufuq).
Namun Arab Saudi mengumumkan Idul Fithri 1 Syawal 1428 H jatuh keesokan harinya, yaitu Jum`at 12 Oktober 2007. Padahal kemarin sorenya saat maghrib jelas-jelas bulan masih di bawah ufuq. Keputusan ini dibantah oleh Kesultanan Omman (tetangga Arab Saudi) dengan pengumunan yang menyatakan pada Kamis 11 Oktober 2007 tidak terlihat hilal Syawal. Maka Idul Fithri jatuh pada Sabtu 13 Oktober 2007.
Fatwa MUI & Kesepakatan Umat
1. 20-22 Mei 2003,
Seminar Nasional Hisab & Rukyat oleh Balitbang Agama, Depag RI.
Dihadiri perwakilan ormas-ormas Islam dan para pakar hisab rukyat untuk mendapatkan titik temu.
2. 14-16 Desember 2003,
pertemuan Komisi Fatwa MUI seluruh Indonesia bersama pimpinan ormas Islam tingkat pusat di HI, menyepakati:
o Yang berhak menetapkan 1 Ramadan, 1 Syawal, dan 1 Zulhijah untuk wilayah NKRI adalah Menteri Agama Republik Indonesia.
o Dalam menetapkan hal tersebut Menteri Agama menggunakan metode rukyat dan hisab.
o Umat Islam Indonesia wajib menaati keputusan Menteri Agama dalam hal tersebut.
3. 2004,
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 2/2004:
“Ummat Islam wajib mengikuti keputusan pemerintah dalam hal penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha.”
4. 2005,
Kongres Ummat Islam Indonesia mendukung Fatwa MUI No. 2/2004 dan menyatakan agar MUI menjadi payung pemersatu ummat.
5. 2006,
o Muhammadiyah mengambil sikap berbeda dalam menentukan 1 Syawal 1427 H.
Berpegang pada prinsip “Wujudul Hilal” walau yang sebenarnya “Wujudul Qamar”.
o DDII mengambil sikap berbeda dalam menentukan 1 Dzul-Hijjah 1427 H.
Mengikuti “Wuquf di Arafah”.
6. 2007,
o Muhammadiyah mengambil sikap berbeda dalam menentukan 1 Syawal 1428 H.
Berpegang pada prinsip “Wujudul Hilal” walau yang sebenarnya “Wujudul Qamar”.
o DDII mengambil sikap berbeda dalam menentukan 1 Dzul-Hijjah 1428 H.
Mengikuti “Wuquf di Arafah”.
(sumber: www.qolbu.net)
“…sesungguhnya shalat itu bagi orang-orang yang beriman adalah suatu ketentuan yang diwaktukan.” (QS 4:103)
Ibadah formal selalu terkait dengan waktu.
Puasa dan haji adalah ibadah yang waktu pelaksanaannya berpatokan pada hilal. Awas: hilal bukan qamar!!!
Qamar adalah bulan, yaitu benda langit yang menjadi satelit bumi dan selalu bergerak mengelilingi bumi. Bentuk qamar adalah bulat seperti bola. Cahaya matahari yang menabrak bulan (qamar) sebagiannya akan dipantulkan ke bumi, ke posisi kita berada. Pantulan cahaya itu mula-mula nampak seperti sabit, lalu menebal dan membesar menjadi bundar. Saat pantulannya berbentuk sabit disebut hilal (Inggris: crescent) dan saat berbentuk bundar disebut badr (Inggris: full moon). Ingat saja syair Anta Syamsun Anta Badrun (Engkaulah Matahari, Engkaulah Purnama). Patokan waktu puasa dan haji adalah hilal!, bukan qamar (bulan) atau syams (matahari).
"Jangan kamu berpuasa sampai kamu meru'yah hilal, jangan kamu ber`idul fithri sampai kamu meru'yahnya, jika kamu terhalang mendung tetapkan qadarnya (genap 30 hari)." <Shahih Bukhari dan Muslim>
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal itu. Katakan,
hilal-hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia juga untuk berhaji.” (QS 2:189)
Maka sebelum menunaikan ibadah puasa dan haji orang perlu mengetahui kapan munculnya hilal untuk menandai masuknya bulan Ramadhan dan bulan Dzul-Hijjah. Sebab puasa Ramadhan dan haji hanya dilakukan pada waktu tertentu saja.
Tentang puasa Ramadhan: “Pada hari-hari yang telah ditentukan…” (QS 2:184)
Tentang haji: “Haji itu pada bulan-bulan yang sudah ditentukan…” (QS 2:197)
Pentingnya Ilmu Falaq untuk Hisab dan Rukyat Hilal
Karena ibadah formal seorang muslim sangat terkait dengan posisi matahari dan bulan maka sedari dulu umat Islam sudah rajin mengamati benda-benda langit tersebut. Mencatat saat-saat penampakannya, posisinya, bentuknya, letak dan ketinggiannya, arah pergerakannya, lalu mengukur, menghitung dan memformulasikannya menjadi rumus-rumus baku. Bidang sains yang pertama kali berkembang dalam dunia Islam adalah ilmu astronomi (ilmu falaq). Saat ini ilmu falaq sudah berkembang sedemikian majunya sehingga perkiraan-perkiraan hisab sangat akurat. Apalagi didukung dengan teknologi optik untuk mengamati langsung benda-benda langit, maka rukyat dan hisab dalam ilmu falaq saat ini sangat dapat diandalkan, jauh melebihi kemampuan manusia zaman dulu.
Sayangnya dunia pendidikan Islam di Indonesia dalam masa penjajahan sempat demikian terbelakangnya sehingga tertinggal dalam bidang sains. Banyak ustadz lulusan pesantren pun lemah dalam pemahaman sains, khususnya ilmu falaq, padahal pelaksanaan syariat Islam memerlukan dukungan sains sebagai alat penopangnya. Belum lagi keadaan ini tersembuhkan, mulai era 1980-an dunia dakwah di Indonesia dibanjiri dengan pemahaman gaya Wahabi-Salafi yang terlalu harfiyah (literal) terlalu menyederhanakan (over simplistic). Slogan-slogan seperti: “Menjadi muslim yang kaffah cukup berpegang pada Qur’an dan Sunnah saja…” kedengarannya memang sangat “memurnikan” padahal justeru mengaburkan permasalahan. Dengan itu maka agama tak perlu lagi dipahami dan dilaksanakan dengan melibatkan sains, pertimbangan sosial budaya dan tujuan-tujuan hikmah yang hendak diraihnya. Selain mengesankan keberagamaan zaman kini hendak ditarik menjadi keberagamaan seperti di zaman Nabi Muhammad SAW dulu, dalam budaya gurun pasir abad ketujuh, pola fikir seperti itu juga mendorong munculnya fatwa-fatwa yang tidak realistis. Termasuk dalam penentuan saat masuknya 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 1 Dzul-Hijjah yang berimplikasi pada perbedaan lebaran Idul Fithri dan Idul Adha.
Data-data Hilal
Indonesia memang bukan negara Islam. Namun karena banyak penduduknya yang beragama Islam maka negara (pemerintah) perlu membentuk Departemen Agama untuk membantu umat Islam menjalankan kewajiban-kewajiban mereka. Di Departemen Agama ada Badan Hisab dan Rukyat (BHR) yang tugasnya memfasilitasi upaya-upaya penentuan masuknya 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 1 Dzul-Hijjah yang bagi umat Islam sangat penting untuk memulai ibadah puasa Ramadhan, Idul Fithri dan Idul Adha.
Dalam kerjanya BHR membentuk lebih dari 40 pos pengamatan hilal di seluruh Indonesia, bekerjasama dengan Jawatan Hidrologi dan Oseanografi TNI-AL, Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN), Peneropongan Bintang Boscha, Planetarium Jakarta, Badan Meteorologi dan Geofisika, para ahli hisab dan rukyat dari berbagai ormas Islam. Berdasarkan kerja semua pihak itu bersama-sama diadakan sidang itsbat (penetapan) tentang awal bulan baru dalam kalender Hijriyah. Jadi penetapannya bukan pemerintah yang bikin. Ini perlu ditekankan karena di tengah keadaan kredibilitas pemerintah yang selalu dipertanyakan akibat banyaknya KKN banyak orang menyangka penetapan awal-awal bulan Hijriyah itu pun penuh rekayasa dan penyimpangan? Tidak, Ini soal fakta alam, yang dunia internasional pun dapat memantaunya dengan obyektifitas tinggi.
1. Hilal 1 Syawal 1428 H
Berdasarkan Hisab:
Ijtimak akhir Ramadhan1428 H terjadi pada 29 Ramadhan yang bertepatan dengan: Kamis Legi, 11 Oktober 2007 pukul: 12:02:29 WIB.
Saat terbenam matahari di wilayah Timur Indonesia:
bulan (qamar) sudah lebih dulu terbenam, tak ada hilal.
Saat terbenam matahari di Yogyakarta:
bulan (qamar) masih berada pada ketinggian 00 37’ 31” (sangat rendah).
Berdasarkan Rukyat:
Tak satu pun pos pengamatan hilal di seluruh Indonesia menjumpai adanya hilal pada Kamis maghrib, 11 Oktober 2007.
Hal yang sama juga terjadi di negara-negara sekitar Indonesia.
Sebabnya antara lain karena memang ketinggian bulan masih sangat rendah, sehingga hilalnya tidak nampak. (Ingat: hilal bukan bulan / qamar).
Sidang Itsbat menetapkan:
Kamis malam Jum`at belum masuk 1 Syawal, berarti Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari. Hari Jum’at 12 Oktober 2007 adalah 30 Ramadhan 1428.
Hari Raya Idul Fithri (1 Syawal 1428 H) jatuh pada:
Sabtu, 13 Oktober 2007.
Mengapa Muhammadiyah berbeda?
Muhammadiyah memperkirakan dengan hisab, saat matahari terbenam pada Kamis maghrib 11 Oktober 2007 bulan masih ada di atas ufuk dengan ketinggian 00 37’ 31”.
Muhammadiyah mengartikan hilal sama dengan qamar. Maka dengan ketinggian bulan seperti itu diartikan hilal sudah wujud. Disebutlah wujudul hilal, padahal sebenarnya wujudul qamar.
Muhammadiyah tidak merasa perlu melakukan rukyat. Maka dinyatakanlah Kamis malam Jum’at sebagai masuknya awal bulan baru, dan Jum`at 12 Oktober 2007 sebagai hari Idul Fithri (1 Syawal 1428 H).
2. Hilal 1 Dzu-Hijjah 1428 H
Berdasarkan Hisab:
Ijtimak akhir bulan Dzul-Qa`dah 1428 H terjadi pada:
Senin, 10 Desember 2007 Pukul: 00:42 WIB.
Saat matahari terbenam hari Senin 10 Desember 2007
bulan masih di atas ufuq dengan ketinggian 5° - 6°.
Karenanya hilal mustahil dapat dilihat pada Ahad maghrib 9 Desember 2007, karena posisi bulan masih di bawah ufuq.
Berdasarkan Rukyat:
Saat maghrib Ahad 29 Dzul-Qa`dah tak terlihat hilal.
Sidang Itsbat menetapkan:
Ahad 9 Desember 2007 malam Senin belum masuk bulan baru.
Bulan Dzul-Qa`dah digenapkan menjadi 30 hari, 30 Dzul-Qa`dah adalah Senin 10 Desember 2007 adalah:
1 Dzul-Hijjah 1428 jatuh pada: Selasa 11 Desember 2007.
9 Dzul-Hijjah jatuh pada: Rabu 19 Desember 2007.
10 Dzul-Hijjah (Idul Adha) terjadi pada: Kamis 20 Desember 2007.
Mengapa Arab Saudi Berbeda?
Pemerintah Arab Saudi sangat dipengaruhi oleh ulama yang menganut paham Islam versi Wahhabi-Salafi yang ciri-ciri utamanya antara lain adalah:
Sumber hukum Islam hanyalah al-Qur’an dan al-Hadits saja.
Pemahaman terhadap teks-teks al-Qur’an dan al-Hadits dilakukan secara harfiyah. Apa yang tertulis di al-Qur’an dan al-Hadits dipahami apa adanya sesuai dengan bunyinya. Pemahaman seperti ini disebut juga pemahaman literal atau scriptural. Ada juga yang menyebutnya textual.
Sebagai konsekuensinya maka dalam penetapan suatu hukum:
Tidak diperbolehkan adanya penafsiran yang kontekstual dan ta’wil.
Tidak dipertimbangkannya tujuan hukum (ghayah tasyri`) dan manfaat hukum (hikmah tasyri`).
Sains tidak dilibatkan, karena bukan bagian dari al-Qur’an dan al-Hadits, juga pelibatan sains dalam memahami nash dianggap sebagai ta’wil.
Namun sebenarnya tidak semua ulama di Arab Saudi berpendirian demikian. Banyak juga ulama yang lebih intelektual, juga para ilmuwan, yang umumnya masih berusia muda yang berbeda pendapat dengan yang tua-tua. Hanya saja mereka belum memegang jabatan yang strategis di pemerintahan. Hal ini nampak dalam perbedaan-perbedaan pendapat yang semakin sering mencuat di media-media publik.
Di Makkah ada universitas terkenal yang banyak memilki ilmuwan, baik agama maupun sains, yaitu Universitas Ummul Qura’. Universitas ini pula yang paling berhak menentukan pencetakan kalender resmi Hijriyah yang disebut Taqwîm Ummul Qurâ’ yang biasanya digantungkan di dinding atau di meja-meja kantor serta dikutip oleh media-media massa.
Namun khusus penentuan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 1 Dzul-Hijjah Taqwîm Ummul Qurâ’ diabaikan, betapapun kalender tersebut disusun dengan kaidah ilmu falaq yang modern dan dilakukan oleh para ahlinya yang mumpuni. Penentuan ketiga tanggal tersebut dilakukan oleh Majlis al-Qadhâ al-A`lâ (Majlis Pengadilan Tinggi) yang masih banyak dikuasai oleh ulama tua Wahhabi-Salafi yang ortodoks dan kurang apresiatif terhadap sains. Dalil utama mereka adalah dua hadits Nabi SAW:
Ibnu Umar meriwayatkan:
"Masyarakat (Madinah) beramai-ramai merukyat hilal Ramadhan, tapi gagal.
Lalu aku memberitahu Rasulullah bahwa aku telah melihatnya.
Maka beliau pun berpuasa esok harinya, begitu juga seluruh masyarakat."
(Nailul Authar, Juz IV/209).
Anas bin Malik meriwayatkan:
"Beberapa pamanku bercerita bahwa suatu hari mereka terhalang melakukan rukyat hilal Syawal. Maka esok paginya mereka tetap berpuasa.
Pada petang harinya datang serombongan orang dan bersaksi di hadapan Rasul bahwa mereka telah melihat hilal, langsung Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk berbuka dan esok harinya melakukan sholat Idul Fitri."
(Nailul Authar, Juz IV/211).
Dua hadits di atas dipahami secara literal, maka mereka berpendapat bahwa yang terpenting dalam penentuan masuknya awal bulan baru bukanlah hisab, bukan pula rukyat yang kita lakukan sendiri, tapi kesaksian (syahadah). Jelasnya mereka berpendapat:
Hisab tak boleh digunakan untuk menetapkan maupun meniadakan hukum.
Jika ada orang mengaku telah melihat hilal maka kesaksiannya dapat langsung diterima, meski hisab mengatakan tidak mungkin.
Tak ada perbedaan antara ahli hisab (astronomy) dan munajjim (ahli nujum, astrology), para munajjim itu dusta meskipun mereka benar.
Mereka sangat bersandar pada kesaksian (syahadah) tanpa memedulikan apakah syahadah itu ilmiah atau tidak, bersumber dari pihak-pihak yang otoritatif atau tidak.
Berikut ini adalah contoh-contoh kasus yang muncul di sana.
1 Dzul-Hijjah 1428 H di Arab Saudi
Berdasarkan hisab dan kalender Ummul Qura’:
Ahad, 9 Desember 2007:
Matahari terbenam: pukul. 17:39
Ijtimak terjadi pada: pukul. 20:42 (jauh sesudah maghrib!)
Tinggi hilal saat maghrib: -5°15‘
Karena itu:
Hilal mustahil terlihat pada Ahad sore, karena belum terjadi ijtimak dan bulan masih di bawah ufuq.
Senin 10 Desember 2007 masih bulan lama, 30 Dzul-Qa`dah
1 Dzul-Hijjah 1428 H jatuh pada: Selasa, 11 Desember 2007
9 Dzul-Hijjah (Wuquf) jatuh pada: Rabu, 19 Desember 2007
10 Dzul-Hijjah (Idul Adha) jatuh pada: Kamis, 20 Desember 2007
Namun apa yang terjadi? Pada Senin 10 Desember 2007 koran “Arab News” dan “Saudi Press Agency” (kantor berita Arab Saudi) memuat pengumuman dari Majlis al-Qadhâ al-A`lâ (Majlis Pengadilan Tinggi) yang berbunyi:
Isi Pengumuman:
Berdasarkan saksi-saksi yang melihat hilal pada maghrib Ahad 9 Desember 2007 maka:
1 Dzul-Hijja 1428 H mulai malam Senin 10 Desember 2007
9 Dzul-Hijja (Wukuf): Selasa, 18 Desember 2007.
10 Dzul-Hijjah (Idul Adha): Rabu, 19 Desember 2007.
Pertanyaan:
1. Bagaimana mungkin hilal terlihat pada Ahad maghrib, padahal ijtimak baru terjadi pukul 20:42?
2. Yang menarik, header berita pengumuman artinya: Riyadh, 30 Dzul-Qa`dah 1428 H, bertepatan 10 Desember 2007 M.
Jadi, pada 10 Desember yang bertepatan dengan 30 Dzul-Qa`dah diumumkan pula bahwa 10 Desember adalah 1 Dzul-Hijjah.
1 Syawal 1420 H di Arab Saudi
Pemerintah Arab Saudi mengumumkan bahwa:
Jum’at, 7 Januari 2000 -> Idul Fithri (1 Syawal 1420 H).
Padahal sehari sebelumnya, Kamis 6 Januari 2000:
Matahari terbenam pukul: 17:44
Ketinggian Bulan -4° 59' (masih di bawah ufuq).
Ijtimak terjadi pkl. 21:14 (jauh sesudah maghrib).
Karenanya tak mungkin terlihat hilal pada Kamis sore itu. Ketinggian bulan masih di bawah ufuq, ijtimak pun belum terjadi. Maka protes pun bermunculan, antara lain dari:
The Arab Union for Astronomy & Space Sciences (AUASS).
Sheikh Yusuf Al-Qaradawi:
o Jum’at 7 Januari 2000 adalah tanggal 30 Ramadhan, bukan 1 Syawal.
o Muslim yang mengikuti Saudi berlebaran hari Jum’at
harus menambah puasa Ramadhan-nya satu hari lagi.
Pembuktian telak:
Majalah “Ad-Dawah” 6 Shawwal 1420 melaporkan “kekeliruan Idul Fithri 7 Januari 2000”. Koran “Arab News” 11 Februari 2000 memuat fakta:
5 Februari 2000 terjadi gerhana matahari yang berlangsung hingga lewat maghrib. Gerhana matahari menandai terjadinya ‘ijtimak’. Wajar tak nampak hilal pada 5 Februari.
6 Februari sore, hilal terlihat, berarti keesokan harinya...
7 Februari adalah 1 Dzul-Qa`dah.
Kalau:
1 Syawwal jatuh hari Jum’at 7 Januari, padahal
1 Dzul-Qa`dah terbukti jatuh pada pada 7 Februari,
Berarti:
Syawwal berlangsung selama 31 hari! (Kekeliruan terbukti, tak ada bulan Hijriyah 31 hari).
Dengan kekeliruan itu pemerintah Arab Saudi lalu membentuk 6 Komite Rukyatul Hilal (di Makkah, Riyadh, Qassim, Hail, Tabuk, dan Asir) yang tiap komite terdiri dari Ulama, Ahli Astronomi, Pejabat Pemerintah dan para relawan. Efektifkah kerja keenam komite tersebut?
1 Dzul-Hijjah 1426 H di Arab Saudi
Dr. Salman Zafar Shaikh melaporkan dari Riyadh: (http://moonsighting.com/1427zhj.html):
Rabu petang, 20 Desember 2006, saya bersama Komite Rukyah Hilal Riyadh melakukan pengamatan hilal awal Dzul-Hijjah, tapi kami tak melihat hilal.
Ke-5 Komite Rukyah Hilal lain (Makkah, Qassim, Tabuk, Hail, dan Asir) juga melaporkan tak melihat hilal.
Begitu juga berdasarkan Taqwim Ummul Qura’.
Tapi pemerintah Arab Saudi membuat keputusan yang mendahului.
Lagi-lagi berdasarkan kesaksian yang tidak logis.
Hisab Universitas Ummul Qura
(Taqwim Ummul Qura)
Keputusan Majelis
Pengadilan Tinggi Saudi Arabia
1 Dzul-Hijjah
Jum'at 22 Des 2006
Kamis 21 Des 2006
Wuquf
Sabtu 30 Des 2006
Jum'at 29 Des 2006
Idul Adha
Ahad, 31 Des 2006
Sabtu 30 Des 2006
Lalu saya menjumpai Hamza Al-Muzani, penulis yang mengeritik penetapan Idul Adha berupa artikel “Kesaksian yang Mustahil” di "Al-Watan" (Kamis, 10 Dzul-Hijjah 1425). Ia menyatakan: “saksi yang menetapkan Idul Adha tahun lalu (2003 M) adalah seorang kakek-kakek berumur 80 tahun”. Setelah menulis kritik itu ia dikenai tuduhan yang dibuat-buat dan dijatuhi hukuman 4 bulan penjara dan 200 cambukan! Syukurnya, belakangan Raja Abdullah (raja yang paling intellektual) mau mendengar pendapat para ilmuwan dan membatalkan hukuman tersebut.
Siapakah sang saksi itu:
Kelak banyak orang pun tahu, kekeliruan Ramadhan dan Idul Fitri 1427 pun bersumber dari kesaksian kakek yang sama, yaitu Al-Khudayri dari Huta Sudayr. Kakek ini yang mengaku melihat hilal awal Dzul-Hijjah 1427, padahal ke-6 Komite Rukyah Hilal dengan segala kelengkapan alatnya tidak melihat hilal dan hisab pun memang memustahilkannya.
Majlis Pengadilan Tinggi Arab Saudi sering membuat keputusan mendadak hanya berdasarkan pengakuan kesaksian seseorang tanpa memeriksa kewenangan dan kemampuan orang itu, padahal kesaksian itu bertentangan dengan ilmu falaq yang sudah teruji 1400 tahun lebih. Rukyat yang dilakukan oleh Komite Rukyatul Hilal, yang terdiri dari para ilmuwan/ulama mumpuni yang menggunakan teropong dan komputer canggih, juga sering diabaikan. Semua itu hanya karena satu alasan saja: Doktrin Wahhabi.
“Sumber agama cukup al-Qur’an dan al-Hadits saja. Keduanya pun cukup dipahami secara harfiyah saja. Maka, bila hadits menyatakan kesaksian seseorang cukup dijadikan dasar untuk menyatakan masuknya awal bulan baru, hal-hal lainnya termasuk sains yang canggih sekalipun boleh dilibatkan lagi.”
Akibatnya kalender di Arab Saudi sering berubah secara mendadak pula, seperti yang nampak di bawah ini. Di Taqwim Ummul Qura tertulis 1 Ramadhan 1420 H jatuh pada 9 Desember 1999. Tapi pada sebuah surat kabar, tanggal 1 Ramadhan bertepatan dengan 8 Desember 1999. Wuih, bagaimana nih Arab Saudi?
Hal lain yang memprihatinkan adalah Majlis Pengadilan Tinggi Arab Saudi pernah membuat pengumuman di koran ar-Riyadh yang meminta umat Islam untuk melakukan rukyatul hilal pada tanggal 28 Sya`ban 1427 H. Sebuah hadits Nabi SAW menyatakan bahwa satu bulan itu 29 hari atau 30 hari. Ilmu falaq pun tidak pernah mengajarkan ada bulan hijriyah yang cuma 28 hari. Syukurnya tidak ada orang “yang mengaku” melihat hilal pada tanggal tersebut. Bayangkan kalau ada yang mengakuinya, lalu kesaksiannya diterima begitu saja, berarti terjadi bulan Sya`ban yang cuma 28 hari!? Pernah di tahun 1984 orang di Arab Saudi berpuasa Ramadhan hanya selama 28 hari, hanya karena ada yang mengaku melihat hilal di hari ke-28. Pengumuman tersebut termuat dalam koran ar-Riyadh 20 September.
1 Ramadhan 1426 H di Arab Saudi
Data di bawah ini menunjukkan bagaimana Arab Saudi menetapkan 1 Ramadhan pada Sabtu 23 September 2006 padahal pada Jum`at maghrib posisi bulan masih di bawah ufuq. Saat kejadian ini berlangsung penulis sedang berada di Makkah dan menyaksikan langsung kerisauan orang-orang yang mengerti ilmu falaq di sana, juga Timur Tengah umumnya.
Jum'at, 22 Sep 2006
Tinggi Bulan saat Mghrib
Sabtu, 23 Sep 2006
Ahad, 24 Sep 2006
Banda Aceh
-1° 51’ 13”
INDONESIA
1 Ramadhan
Makkah
-0° 14’ 00”
ARAB SAUDI
1 Ramadhan
Komentar Syeikh Ali Jum'ah (Mufti Mesir):
“Siapa yang mulai puasa Ramadhan hari Sabtu, berarti ia telah puasa sehari dari bulan Sya'ban”.
1 Syawal 1428 H di Arab Saudi
Data astronomis Ilmu Falaq untuk Makkah menunjukkan bahwa pada Kamis, 11 Oktober 2007:
Ijtimak pk. 08:02
Bulan terbenam pk. 17:59 (sebelum matahari terbenam)
Cairo, bulan terbenam pk. 17:55
Matahari terbenam pk. 18:00
Tinggi Qamar saat Matahari terbenam -1° 1,7' (di bawah ufuq).
Namun Arab Saudi mengumumkan Idul Fithri 1 Syawal 1428 H jatuh keesokan harinya, yaitu Jum`at 12 Oktober 2007. Padahal kemarin sorenya saat maghrib jelas-jelas bulan masih di bawah ufuq. Keputusan ini dibantah oleh Kesultanan Omman (tetangga Arab Saudi) dengan pengumunan yang menyatakan pada Kamis 11 Oktober 2007 tidak terlihat hilal Syawal. Maka Idul Fithri jatuh pada Sabtu 13 Oktober 2007.
Fatwa MUI & Kesepakatan Umat
1. 20-22 Mei 2003,
Seminar Nasional Hisab & Rukyat oleh Balitbang Agama, Depag RI.
Dihadiri perwakilan ormas-ormas Islam dan para pakar hisab rukyat untuk mendapatkan titik temu.
2. 14-16 Desember 2003,
pertemuan Komisi Fatwa MUI seluruh Indonesia bersama pimpinan ormas Islam tingkat pusat di HI, menyepakati:
o Yang berhak menetapkan 1 Ramadan, 1 Syawal, dan 1 Zulhijah untuk wilayah NKRI adalah Menteri Agama Republik Indonesia.
o Dalam menetapkan hal tersebut Menteri Agama menggunakan metode rukyat dan hisab.
o Umat Islam Indonesia wajib menaati keputusan Menteri Agama dalam hal tersebut.
3. 2004,
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 2/2004:
“Ummat Islam wajib mengikuti keputusan pemerintah dalam hal penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha.”
4. 2005,
Kongres Ummat Islam Indonesia mendukung Fatwa MUI No. 2/2004 dan menyatakan agar MUI menjadi payung pemersatu ummat.
5. 2006,
o Muhammadiyah mengambil sikap berbeda dalam menentukan 1 Syawal 1427 H.
Berpegang pada prinsip “Wujudul Hilal” walau yang sebenarnya “Wujudul Qamar”.
o DDII mengambil sikap berbeda dalam menentukan 1 Dzul-Hijjah 1427 H.
Mengikuti “Wuquf di Arafah”.
6. 2007,
o Muhammadiyah mengambil sikap berbeda dalam menentukan 1 Syawal 1428 H.
Berpegang pada prinsip “Wujudul Hilal” walau yang sebenarnya “Wujudul Qamar”.
o DDII mengambil sikap berbeda dalam menentukan 1 Dzul-Hijjah 1428 H.
Mengikuti “Wuquf di Arafah”.
(sumber: www.qolbu.net)
Leave a Comment