Adzan Terakhir Bilal
Sesaat sesudah Rasulullah SAW mengembuskan nafas terakhir Nya, masa-masa shalat tiba. Waktu shalat telah tiba.
Bilal bin Rabah, pria legam itu, beranjak menunaikan tugasnya yang biasa: mengumandangkan adzan.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar…”
Suara beningnya yang indah nan lantang terdengar di seantero Madinah. Penduduk Madinah beranjak menuju masjid. Masih dalam kesedihan, sadar bahwa pria yang selama ini
mengimami mereka tak akan pernah muncul lagi dari biliknya di sisi masjid.
“Asyhadu anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha ilallah….”
Suara bening itu kini bergetar. Penduduk Madinah bertanya-tanya, ada apa gerangan. Jamaah yang sudah berkumpul di masjid melihat tangan pria legam itu bergetar tak
beraturan.
“Asy…hadu.. an..na.. M..Mu..mu..hammmad…”
Suara bening itu tak lagi terdengar jelas. Kini tak hanya tangan Bilal yang bergetar hebat, seluruh tubuhnya gemetar tak beraturan, seakan-akan ia tak sanggup berdiri
dan bisa roboh kapanpun juga. Wajahnya sembab. Air matanya mengalir deras, tidak terkontrol. Air matanya membasahi seluruh kelopak, pipi, dagu, hingga jenggot. Tanah
tempat ia berdiri kini dipenuhi oleh bercak-bercak bekas air matanya yang jatuh ke bumi. Seperti tanah yang habis di siram rintik-rintik air hujan.
Ia mencoba mengulang kalimat adzannya yang terputus. Salah satu kalimat dari dua kalimat syahadat. Kalimat persaksian bahwa Muhammad bin Abdullah adalah Rasul ALLAH.
“Asy…ha..du. .annna…”
Kali ini ia tak bisa meneruskan lebih jauh.
Tubuhnya mulai limbung.
Sahabat yang tanggap menghampirinya, memeluknya dan meneruskan adzan yang terpotong.
Saat itu tak hanya Bilal yang menangis, tapi seluruh jamaah yang berkumpul di Masjid Nabawi, bahkan yang tidak berada di masjid ikut menangis. Mereka semua merasakan
kepedihan ditinggal Kekasih ALLAH untuk selama-lamanya. Semua menangis, tapi tidak seperti Bilal.
Tangis Bilal lebih deras dari semua penduduk Madinah. Tak ada yang tahu persis kenapa Bilal seperti itu, tapi Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu anhu tahu.
Sejak kepergian Rasulullah SAW, Bilal Cuma sanggup mengumandangkan azan sekitar tiga hari. Setiap sampai untuk kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku
menyatakan bahwa Muhammad ialah utusan Allah)”, ia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum muslimin penduduk kota madinah yang mendengar suara Adzan Bilal pun
larut dalam tangisan pilu.
Kenangan-kenangan akan sikap Rasul yang begitu lembut pada dirinya berkejar-kejaran saat ia mengumandangkan adzan. Ingatan akan sabda Rasul, “Bilal, istirahatkanlah
kami dengan shalat.” lalu ia pun beranjak adzan, muncul begitu saja tanpa ia bisa dibendung.
Kini tak ada lagi suara lembut yang meminta istirahat dengan shalat. Bilal pun teringat bahwa ia biasanya pergi menuju bilik Nabi yang berdampingan dengan Masjid
Nabawi setiap mendekati waktu shalat. Di depan pintu bilik Rasul, Bilal berkata, “Saatnya untuk shalat, saatnya untuk meraih kemenangan. Wahai Rasulullah, saatnya
untuk shalat.”
Kini tak ada lagi pria mulia di balik bilik itu yang akan keluar dengan wajah yang ramah dan penuh rasa terima kasih karena sudah diingatkan akan waktu shalat. Bilal
teringat, saat shalat ‘Ied dan shalat Istisqa’ ia selalu berjalan di depan. Rasulullah dengan tombak di tangan menuju tempat diselenggarakan shalat. Salah satu dari
tiga tombak pemberian Raja Habasyah kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Satu diberikan Rasul kepada Umar bin Khattab, satu untuk dirinya sendiri, dan satu ia
berikan kepada Bilal. Kini hanya tombak itu saja yang masih ada, tanpa diiringi pria mulia yang memberikannya tombak tersebut. Hati Bilal makin perih. Seluruh kenangan
itu bertumpuk-tumpuk, membuncah bercampur dengan rasa rindu dan cinta yang sangat pada diri Bilal. Bilal sudah tidak tahan lagi. Ia tidak sanggup lagi untuk
mengumandangkan adzan.
Abu Bakar tahu akan perasaan Bilal. Saat Bilal meminta izin untuk tidak mengumandankan adzan lagi, beliau mengizinkannya. Saat Bilal meminta izin untuk meninggalkan
Madinah, Abu Bakar kembali mengizinkan. Bagi Bilal, setiap sudut kota Madinah akan selalu membangkitkan kenangan akan Rasul, dan itu akan semakin membuat dirinya
merana karena rindu. Ia memutuskan meninggalkan kota itu. Ia pergi ke Damaskus bergabung dengan mujahidin di sana. Madinah semakin berduka. Setelah ditinggal al-
Musthafa, kini mereka ditinggal pria legam mantan budak tetapi memiliki hati secemerlang cermin.
Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, “Jika
dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas
menuju kepada-Nya.”
Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah.”
Bilal menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan untuk siapa pun setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam wafat.”
Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah bareng pasukan awal yang dikirim oleh Abu Bakar untuk berjihad. Ia bermukim di
wilayah Darayya yang terletak tidak terlampau jauh dari kota Damaskus.
Kembali Ke Madinah dan Adzan yang Tak Mampu Diselesaikan Nya
Lama Bilal Ra tak mendatangi Madinah, hingga pada sebuah malam, Nabi Rasulullah SAW muncul dalam mimpi Bilal, dan menegurnya: “Ya Bilal, wa maa hadzal jafa’? Hai
Bilal, kenapa anda tak mengunjungiku? Kenapa begini?.” Bilal juga bangun terperanjat, segera dia mempersiapkan perjalanan ke Madinah, guna berziarah ke Makam
Rasulullah. Sekian tahun setelah dia meninggalkan Kota Nabi.
Setiba di Madinah, Bilal bersedu sedan melepas rasa rindunya pada Rasulullah SAW, layaknya kerinduan yang teramat dalam pada sang kekasih. Saat itu, ia dihampiri oleh
Dua orang pemuda yang sudah beranjak dewasa. Bilal pun langsung mendekap erat, Keduanya ialah cucunda Nabi Saw., Hasan dan Husein. Sembari mata sembab oleh tangis,
Bilal yang makin beranjak tua mendekap kedua cucu Rasulullah SAWitu.
Salah satu dari keduanya berbicara kepada Bilal RA.: “Paman, maukah anda sekali saja mengumandangkan adzan untuk kami? Kami hendak mengenang kakek kami.”
Ketika itu, Umar bin Khattab yang sudah jadi Khalifah yang sedang menyaksikan momentum bersejarah sekaligus dramatis itu pun memohon Bilal guna mengumandangkan adzan,
walau sekali saja.
Bilal pun tak kuasa menolak permintaan itu. Waktu shalat pun tiba, dia naik di lokasi dahulu biasa dia adzan pada masa Nabi Saw masih hidup. Mulailah dia
mengumandangkan adzan. Saat lafadz “Allahu Akbar” dikumandangkan olehnya, seketika seluruh Madinah senyap, segala kegiatan terhenti, seluruh umat muslim terkejut,
suara yang sudah bertahun-tahun hilang, suara yang mengingatkan pada sosok nan agung, suara yang begitu dirindukan, tersebut telah kembali.
Ketika Bilal meneriakkan kata “Asyhadu an laa ilaha illallah”, semua isi kota madinah berlarian ke arah suara tersebut sembari berteriak, bahkan semua gadis dalam
pingitan mereka juga keluar. Dan ketika bilal mengumandangkan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, Madinah pecah oleh tangisan dan ratapan yang paling memilukan.
Semua menangis, teringat waktu indah ketika Rasulullah SAW masih bersama mereka. Terlihat Umar bin Khattab yang sangat keras tangisnya. Bahkan Bilal sendiri juga tak
mampu meneruskan adzannya, lidahnya tercekat oleh air mata yang berderai.
Hari itu, madinah memperingati masa ketika Rasulullah orang yang paling mereka cintai masih bersama. Tak ada manusia yang begitu agung, kecintaan mereka tak mampu
membalas kasih Sayang Nabi SAW.
Dan adzan itu merupakan adzan yang tak dapat dirampungkan hingga kepergian Bilal Bin Rabah, Pelantun Adzan Pertama dalam sejarah Islam. Inilah adzan pertama sekaligus
adzan terakhirnya Bilal RA, sejak ia meninggalkan kota Madinah. Dia tak pernah mau lagi mengumandangkan adzan, karena kesedihan yang paling mengoyak-ngoyak hatinya.
Mengingatkan nya kepada seseorang yang karenanya dirinya, derajatnya terangkat begitu tinggi.
Suara Bilal membangunkan segenap kenangan dan kecintaan mereka teruntuk masa – masa terindah kehidupan yang dilalui di Madinah ketika Rasulullah SAW masih hidup.
Bilalpun kembali ke negeri asalnya dan tetap bermukim di Damaskus sampai ia wafat.
Meskipun begitu untuk memperingati jasa dan cerita perjuangan Bilal bin Rabbah, maka didirikan Masjid Bilal yang konon berdiri di tapak bekas Kediaman Beliau di
Madinah.
Bilal bin Rabah, pria legam itu, beranjak menunaikan tugasnya yang biasa: mengumandangkan adzan.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar…”
Suara beningnya yang indah nan lantang terdengar di seantero Madinah. Penduduk Madinah beranjak menuju masjid. Masih dalam kesedihan, sadar bahwa pria yang selama ini
mengimami mereka tak akan pernah muncul lagi dari biliknya di sisi masjid.
“Asyhadu anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha ilallah….”
Suara bening itu kini bergetar. Penduduk Madinah bertanya-tanya, ada apa gerangan. Jamaah yang sudah berkumpul di masjid melihat tangan pria legam itu bergetar tak
beraturan.
“Asy…hadu.. an..na.. M..Mu..mu..hammmad…”
Suara bening itu tak lagi terdengar jelas. Kini tak hanya tangan Bilal yang bergetar hebat, seluruh tubuhnya gemetar tak beraturan, seakan-akan ia tak sanggup berdiri
dan bisa roboh kapanpun juga. Wajahnya sembab. Air matanya mengalir deras, tidak terkontrol. Air matanya membasahi seluruh kelopak, pipi, dagu, hingga jenggot. Tanah
tempat ia berdiri kini dipenuhi oleh bercak-bercak bekas air matanya yang jatuh ke bumi. Seperti tanah yang habis di siram rintik-rintik air hujan.
Ia mencoba mengulang kalimat adzannya yang terputus. Salah satu kalimat dari dua kalimat syahadat. Kalimat persaksian bahwa Muhammad bin Abdullah adalah Rasul ALLAH.
“Asy…ha..du. .annna…”
Kali ini ia tak bisa meneruskan lebih jauh.
Tubuhnya mulai limbung.
Sahabat yang tanggap menghampirinya, memeluknya dan meneruskan adzan yang terpotong.
Saat itu tak hanya Bilal yang menangis, tapi seluruh jamaah yang berkumpul di Masjid Nabawi, bahkan yang tidak berada di masjid ikut menangis. Mereka semua merasakan
kepedihan ditinggal Kekasih ALLAH untuk selama-lamanya. Semua menangis, tapi tidak seperti Bilal.
Tangis Bilal lebih deras dari semua penduduk Madinah. Tak ada yang tahu persis kenapa Bilal seperti itu, tapi Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu anhu tahu.
Sejak kepergian Rasulullah SAW, Bilal Cuma sanggup mengumandangkan azan sekitar tiga hari. Setiap sampai untuk kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku
menyatakan bahwa Muhammad ialah utusan Allah)”, ia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum muslimin penduduk kota madinah yang mendengar suara Adzan Bilal pun
larut dalam tangisan pilu.
Kenangan-kenangan akan sikap Rasul yang begitu lembut pada dirinya berkejar-kejaran saat ia mengumandangkan adzan. Ingatan akan sabda Rasul, “Bilal, istirahatkanlah
kami dengan shalat.” lalu ia pun beranjak adzan, muncul begitu saja tanpa ia bisa dibendung.
Kini tak ada lagi suara lembut yang meminta istirahat dengan shalat. Bilal pun teringat bahwa ia biasanya pergi menuju bilik Nabi yang berdampingan dengan Masjid
Nabawi setiap mendekati waktu shalat. Di depan pintu bilik Rasul, Bilal berkata, “Saatnya untuk shalat, saatnya untuk meraih kemenangan. Wahai Rasulullah, saatnya
untuk shalat.”
Kini tak ada lagi pria mulia di balik bilik itu yang akan keluar dengan wajah yang ramah dan penuh rasa terima kasih karena sudah diingatkan akan waktu shalat. Bilal
teringat, saat shalat ‘Ied dan shalat Istisqa’ ia selalu berjalan di depan. Rasulullah dengan tombak di tangan menuju tempat diselenggarakan shalat. Salah satu dari
tiga tombak pemberian Raja Habasyah kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Satu diberikan Rasul kepada Umar bin Khattab, satu untuk dirinya sendiri, dan satu ia
berikan kepada Bilal. Kini hanya tombak itu saja yang masih ada, tanpa diiringi pria mulia yang memberikannya tombak tersebut. Hati Bilal makin perih. Seluruh kenangan
itu bertumpuk-tumpuk, membuncah bercampur dengan rasa rindu dan cinta yang sangat pada diri Bilal. Bilal sudah tidak tahan lagi. Ia tidak sanggup lagi untuk
mengumandangkan adzan.
Abu Bakar tahu akan perasaan Bilal. Saat Bilal meminta izin untuk tidak mengumandankan adzan lagi, beliau mengizinkannya. Saat Bilal meminta izin untuk meninggalkan
Madinah, Abu Bakar kembali mengizinkan. Bagi Bilal, setiap sudut kota Madinah akan selalu membangkitkan kenangan akan Rasul, dan itu akan semakin membuat dirinya
merana karena rindu. Ia memutuskan meninggalkan kota itu. Ia pergi ke Damaskus bergabung dengan mujahidin di sana. Madinah semakin berduka. Setelah ditinggal al-
Musthafa, kini mereka ditinggal pria legam mantan budak tetapi memiliki hati secemerlang cermin.
Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, “Jika
dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas
menuju kepada-Nya.”
Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah.”
Bilal menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan untuk siapa pun setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam wafat.”
Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah bareng pasukan awal yang dikirim oleh Abu Bakar untuk berjihad. Ia bermukim di
wilayah Darayya yang terletak tidak terlampau jauh dari kota Damaskus.
Kembali Ke Madinah dan Adzan yang Tak Mampu Diselesaikan Nya
Lama Bilal Ra tak mendatangi Madinah, hingga pada sebuah malam, Nabi Rasulullah SAW muncul dalam mimpi Bilal, dan menegurnya: “Ya Bilal, wa maa hadzal jafa’? Hai
Bilal, kenapa anda tak mengunjungiku? Kenapa begini?.” Bilal juga bangun terperanjat, segera dia mempersiapkan perjalanan ke Madinah, guna berziarah ke Makam
Rasulullah. Sekian tahun setelah dia meninggalkan Kota Nabi.
Setiba di Madinah, Bilal bersedu sedan melepas rasa rindunya pada Rasulullah SAW, layaknya kerinduan yang teramat dalam pada sang kekasih. Saat itu, ia dihampiri oleh
Dua orang pemuda yang sudah beranjak dewasa. Bilal pun langsung mendekap erat, Keduanya ialah cucunda Nabi Saw., Hasan dan Husein. Sembari mata sembab oleh tangis,
Bilal yang makin beranjak tua mendekap kedua cucu Rasulullah SAWitu.
Salah satu dari keduanya berbicara kepada Bilal RA.: “Paman, maukah anda sekali saja mengumandangkan adzan untuk kami? Kami hendak mengenang kakek kami.”
Ketika itu, Umar bin Khattab yang sudah jadi Khalifah yang sedang menyaksikan momentum bersejarah sekaligus dramatis itu pun memohon Bilal guna mengumandangkan adzan,
walau sekali saja.
Bilal pun tak kuasa menolak permintaan itu. Waktu shalat pun tiba, dia naik di lokasi dahulu biasa dia adzan pada masa Nabi Saw masih hidup. Mulailah dia
mengumandangkan adzan. Saat lafadz “Allahu Akbar” dikumandangkan olehnya, seketika seluruh Madinah senyap, segala kegiatan terhenti, seluruh umat muslim terkejut,
suara yang sudah bertahun-tahun hilang, suara yang mengingatkan pada sosok nan agung, suara yang begitu dirindukan, tersebut telah kembali.
Ketika Bilal meneriakkan kata “Asyhadu an laa ilaha illallah”, semua isi kota madinah berlarian ke arah suara tersebut sembari berteriak, bahkan semua gadis dalam
pingitan mereka juga keluar. Dan ketika bilal mengumandangkan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, Madinah pecah oleh tangisan dan ratapan yang paling memilukan.
Semua menangis, teringat waktu indah ketika Rasulullah SAW masih bersama mereka. Terlihat Umar bin Khattab yang sangat keras tangisnya. Bahkan Bilal sendiri juga tak
mampu meneruskan adzannya, lidahnya tercekat oleh air mata yang berderai.
Hari itu, madinah memperingati masa ketika Rasulullah orang yang paling mereka cintai masih bersama. Tak ada manusia yang begitu agung, kecintaan mereka tak mampu
membalas kasih Sayang Nabi SAW.
Dan adzan itu merupakan adzan yang tak dapat dirampungkan hingga kepergian Bilal Bin Rabah, Pelantun Adzan Pertama dalam sejarah Islam. Inilah adzan pertama sekaligus
adzan terakhirnya Bilal RA, sejak ia meninggalkan kota Madinah. Dia tak pernah mau lagi mengumandangkan adzan, karena kesedihan yang paling mengoyak-ngoyak hatinya.
Mengingatkan nya kepada seseorang yang karenanya dirinya, derajatnya terangkat begitu tinggi.
Suara Bilal membangunkan segenap kenangan dan kecintaan mereka teruntuk masa – masa terindah kehidupan yang dilalui di Madinah ketika Rasulullah SAW masih hidup.
Bilalpun kembali ke negeri asalnya dan tetap bermukim di Damaskus sampai ia wafat.
Meskipun begitu untuk memperingati jasa dan cerita perjuangan Bilal bin Rabbah, maka didirikan Masjid Bilal yang konon berdiri di tapak bekas Kediaman Beliau di
Madinah.
Harrah's Cherokee Casino & Hotel - MapYRO
ReplyDeleteHarrah's Cherokee Casino & Hotel 문경 출장안마 is a 34-story skyscraper 전라남도 출장마사지 in Cherokee, North Carolina, 영주 출장마사지 U.S.A.. 속초 출장마사지 View a detailed 여수 출장샵 profile of the structure 12210 including further data