Makna "Apa Kabarmu Sahabat?"
Karena sudah menjadi kebiasaan, lama-kelamaan pertanyaan 'apa kabar' menjadi sekedar basa-basi, tanpa ada maksud untuk sungguh-sungguh mengetahui kabar sahabat kita dan siap mendengar jika ia menceritakan kabar baik atau kabar buruknya.
Bahkan ketika sahabat kita tadi mulai menumpahkan berbagai penderitaan hidupnya sebagai respon dari pertanyaan 'apa kabar', kita mendengarnya sambil lalu saja tanpa ada keinginan untuk membantu atau paling tidak berdoa kepada Allah swt untuk dirinya.
Di sisi lain pun, sahabat yang kita ditanyakan 'apa kabar' biasanya menjawab dengan jawaban standar: "Alhamdulillah, baik", padahal sebenarnya keadaannya sedang tidak baik. "Apa kabar" sekedar basa-basi ini jelas sangat jauh dari akhlaq Rasulullah saw dan para sahabat beliau ra. Mereka menanyakan kabar satu sama lain dengan penuh kesungguhan dan kesiapan diri untuk menolong jika ternyata saudaranya punya kesusahan. Atau mengingatkannya kepada Allah jika ternyata saudaranya itu sedang mendapatkan nikmat.
Juga, jawaban atas pertanyaan 'apa kabar' tidak selalu kalimat "Alhamdulillah, baik", tetapi demikian beragam sesuai dengan keadaan lahir dan batin yang sebenarnya, atau bahkan sebuah nasehat dan ajaran. Tampaknya, mereka benar-benar mengamalkan petunjuk Nabi saw, عَÙ†ْ Ø£َبِÙŠ Ù…ُوسَÙ‰ عَÙ†ْ النَّبِÙŠِّ صَÙ„َّÙ‰ اللَّÙ‡ُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ Ù‚َالَ Ø¥ِÙ†َّ الْÙ…ُؤْÙ…ِÙ†َ Ù„ِÙ„ْÙ…ُؤْÙ…ِÙ†ِ ÙƒَالْبُÙ†ْÙŠَانِ ÙŠَØ´ُدُّ بَعْضُÙ‡ُ بَعْضًا ÙˆَØ´َبَّÙƒَ Ø£َصَابِعَÙ‡ُ "Sesungguhnya seorang mukmin dengan mukmin yang lain seperti satu bangunan, satu sama lain saling menguatkan." Sambil beliau menyilangkan jari-jarinya. (HR. al-Bukhari dari Abu Mûsâ al-Asy'âri ra)
Ditulis oleh al-Imam al-Syi'rânî dalam kitab Tanbîh al-Mughtařîn : "Di antara akhlaq mereka (guru-guru al-Imam al-Syi'rani), semoga Allah meridhai mereka, yaitu mereka banyak bertanya tentang kabar para sahabatnya. Tujuannya adalah untuk memberikan pertolongan seandainya para sahabat itu memerlukan bantuan baik makanan, pakaian, uang, melunasi hutang atau untuk ikut bersama menanggung kesulitan yang menimpa. Mereka bertanya bukan sekedar basa basi.
Pemilik ahlaq seperti ini sudah demikian langka di zaman sekarang (abad ke-15–16 M). Hal yang sebaliknya justru terjadi pada kebanyakan orang, hingga kadang-kadang ketika seseorang bertanya kepada sahabatnya, "Apa kabarmu?" Yang ditanya akan menjawab, "Baik." Padahal keadaannya sedang tidak baik. Ia tidak menceritakan yang sebenarnya karena mengetahui bahwa hati sahabatnya sama sekali tidak memikirkannya.
'Ali al-Khawwâsh, semoga Allah merahmatinya, berujar, "Kalau seseorang tidak ada tekad sama sekali untuk menolong saudaranya, atau menanggung kesulitannya, atau mendoakannya, maka janganlah ia bertanya 'apa kabarmu', karena pertanyaan itu akan membuat ia menjadi munafik."
Pernah Hâtim al-Ashamm, semoga Allah merahmatinya, berkata, "Apabila engkau bertanya kepada sahabatmu: Apa kabarmu? lantas sahabatmu menjawab: Aku sedang membutuhkan sesuatu. Kemudian engkau abaikan saja dan tidak memberikan apa yang ia butuhkan itu maka pertanyaanmu 'apa kabarmu' tadi lebih merupakan sebuah penghinaan terhadap sahabatmu itu."
Keadaan seperti ini sudah menjadi kecenderungan umum orang di zaman ini. Orang-orang shalih terdahulu biasa bertanya kabar satu sama lain untuk mengingatkan mereka yang lalai agar bersyukur atas nikmat Allah. Ketika orang yang diingatkan itu bersyukur maka tercapailah kebaikan, baik untuk yang ditanya maupun untuk yang bertanya 'apa kabar' tersebut.
Dalam sebuah hadits, seseorang bertanya kepada Nabi saw," Apa kabarmu, wahai Rasulullah?" Lantas beliau menjawab," Kabarku lebih baik jika dibandingkan dengan mereka yang tidak menjenguk orang sakit, lebih baik jika dibandingkan dengan mereka yang tidak mengiringi pemakaman jenazah." (HR. Abu Ya'al dari Abdullah Ibn 'Abbas ra, berkata Husain Salim Asad: sanadnya sahih)
Juga pernah ditanyakan kepada Abu Bakar al-Shiddiq, semoga Allah meridhainya," Apa kabarmu?" Abu Bakar ra menjawab," Kabarku adalah aku seorang hamba yang hina bagi Tuhan Yang Maha Besar, kabarku juga, aku diperintahkan untuk melaksanakan perintahnya."
Pernah ditanyakan kepada Hasan al-Bashri, semoga Allah merahmatinya," Apa kabarmu?" Beliau menjawab," Kabarku adalah aku seorang yang tunduk berserah diri kepada Allah dan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun."
Pernah pula ditanyakan kepada Malik bin Dinar, semoga Allah merahmatinya," Apa kabarmu?" Beliau menjawab," Kabarku adalah aku tidak tahu apakah aku akan kembali ke surga atau kembali ke neraka."
Ditanyakan kepada Imam al-Syafi'i, semoga Allah meridhainya," Apa kabarmu?" Beliau menjawab," Kabarku adalah aku makan rejeki dari Tuhanku tetapi aku belum menegakkan syukur terhadap-Nya."
Juga pernah ditanyakan kepada Nabi 'Isa as," Apa kabarmu?" Beliau menjawab," Aku tidak mampu memililki sesuatu yang bermanfaat yang aku harapkan, tidak pula mampu menolak sesuatu yang aku takutkan, sedangkan diriku tergadai oleh amal-amalku, sementara segala keputusan ada di tangan selainku (Allah swt). Tidak ada yang lebih fakir dibandingkan diriku."
Ditanyakan kepada al-Rabi' bin Khaitsam, semoga Allah merahmatinya," Apa kabarmu?" Lantas beliau menjawab," Kabarku adalah aku orang yang lemah lagi berdosa, selalu makan rejeki dari Tuhanku, tetapi aku mendurhakai-Nya."
Ditanyakan pula kepada Abu Malik bin Dinar, semoga Allah merahmatinya," Apa kabarmu?" Lalu beliau menjawab," Kabarku adalah umurku terus berkurang dan dosa terus bertambah."
Sementara saat ini ada orang-orang yang jika ditanya apa kabar mereka, dengan penuh semangat mereka menjawab:
"Super!"
"Luar Biasa!"
"Dahsyat!"
Padahal pernah ditanyakan kepada Hamid al-Laffaf, semoga Allah merahmatinya, "Apa kabarmu?" Beliau menjawab,"Selamat lagi sentosa." Lalu Hatim al-Ashamm menanggapinya, "Wahai Hamid, selamat dan sentosa keduanya hanya terjadi setelah seseorang melewati shirath (jembatan Neraka) dan masuk surga." Berkata Hamid, "Engkau benar."
Wallahu 'alam
Di sisi lain pun, sahabat yang kita ditanyakan 'apa kabar' biasanya menjawab dengan jawaban standar: "Alhamdulillah, baik", padahal sebenarnya keadaannya sedang tidak baik. "Apa kabar" sekedar basa-basi ini jelas sangat jauh dari akhlaq Rasulullah saw dan para sahabat beliau ra. Mereka menanyakan kabar satu sama lain dengan penuh kesungguhan dan kesiapan diri untuk menolong jika ternyata saudaranya punya kesusahan. Atau mengingatkannya kepada Allah jika ternyata saudaranya itu sedang mendapatkan nikmat.
Juga, jawaban atas pertanyaan 'apa kabar' tidak selalu kalimat "Alhamdulillah, baik", tetapi demikian beragam sesuai dengan keadaan lahir dan batin yang sebenarnya, atau bahkan sebuah nasehat dan ajaran. Tampaknya, mereka benar-benar mengamalkan petunjuk Nabi saw, عَÙ†ْ Ø£َبِÙŠ Ù…ُوسَÙ‰ عَÙ†ْ النَّبِÙŠِّ صَÙ„َّÙ‰ اللَّÙ‡ُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ Ù‚َالَ Ø¥ِÙ†َّ الْÙ…ُؤْÙ…ِÙ†َ Ù„ِÙ„ْÙ…ُؤْÙ…ِÙ†ِ ÙƒَالْبُÙ†ْÙŠَانِ ÙŠَØ´ُدُّ بَعْضُÙ‡ُ بَعْضًا ÙˆَØ´َبَّÙƒَ Ø£َصَابِعَÙ‡ُ "Sesungguhnya seorang mukmin dengan mukmin yang lain seperti satu bangunan, satu sama lain saling menguatkan." Sambil beliau menyilangkan jari-jarinya. (HR. al-Bukhari dari Abu Mûsâ al-Asy'âri ra)
Ditulis oleh al-Imam al-Syi'rânî dalam kitab Tanbîh al-Mughtařîn : "Di antara akhlaq mereka (guru-guru al-Imam al-Syi'rani), semoga Allah meridhai mereka, yaitu mereka banyak bertanya tentang kabar para sahabatnya. Tujuannya adalah untuk memberikan pertolongan seandainya para sahabat itu memerlukan bantuan baik makanan, pakaian, uang, melunasi hutang atau untuk ikut bersama menanggung kesulitan yang menimpa. Mereka bertanya bukan sekedar basa basi.
Pemilik ahlaq seperti ini sudah demikian langka di zaman sekarang (abad ke-15–16 M). Hal yang sebaliknya justru terjadi pada kebanyakan orang, hingga kadang-kadang ketika seseorang bertanya kepada sahabatnya, "Apa kabarmu?" Yang ditanya akan menjawab, "Baik." Padahal keadaannya sedang tidak baik. Ia tidak menceritakan yang sebenarnya karena mengetahui bahwa hati sahabatnya sama sekali tidak memikirkannya.
'Ali al-Khawwâsh, semoga Allah merahmatinya, berujar, "Kalau seseorang tidak ada tekad sama sekali untuk menolong saudaranya, atau menanggung kesulitannya, atau mendoakannya, maka janganlah ia bertanya 'apa kabarmu', karena pertanyaan itu akan membuat ia menjadi munafik."
Pernah Hâtim al-Ashamm, semoga Allah merahmatinya, berkata, "Apabila engkau bertanya kepada sahabatmu: Apa kabarmu? lantas sahabatmu menjawab: Aku sedang membutuhkan sesuatu. Kemudian engkau abaikan saja dan tidak memberikan apa yang ia butuhkan itu maka pertanyaanmu 'apa kabarmu' tadi lebih merupakan sebuah penghinaan terhadap sahabatmu itu."
Keadaan seperti ini sudah menjadi kecenderungan umum orang di zaman ini. Orang-orang shalih terdahulu biasa bertanya kabar satu sama lain untuk mengingatkan mereka yang lalai agar bersyukur atas nikmat Allah. Ketika orang yang diingatkan itu bersyukur maka tercapailah kebaikan, baik untuk yang ditanya maupun untuk yang bertanya 'apa kabar' tersebut.
Dalam sebuah hadits, seseorang bertanya kepada Nabi saw," Apa kabarmu, wahai Rasulullah?" Lantas beliau menjawab," Kabarku lebih baik jika dibandingkan dengan mereka yang tidak menjenguk orang sakit, lebih baik jika dibandingkan dengan mereka yang tidak mengiringi pemakaman jenazah." (HR. Abu Ya'al dari Abdullah Ibn 'Abbas ra, berkata Husain Salim Asad: sanadnya sahih)
Juga pernah ditanyakan kepada Abu Bakar al-Shiddiq, semoga Allah meridhainya," Apa kabarmu?" Abu Bakar ra menjawab," Kabarku adalah aku seorang hamba yang hina bagi Tuhan Yang Maha Besar, kabarku juga, aku diperintahkan untuk melaksanakan perintahnya."
Pernah ditanyakan kepada Hasan al-Bashri, semoga Allah merahmatinya," Apa kabarmu?" Beliau menjawab," Kabarku adalah aku seorang yang tunduk berserah diri kepada Allah dan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun."
Pernah pula ditanyakan kepada Malik bin Dinar, semoga Allah merahmatinya," Apa kabarmu?" Beliau menjawab," Kabarku adalah aku tidak tahu apakah aku akan kembali ke surga atau kembali ke neraka."
Ditanyakan kepada Imam al-Syafi'i, semoga Allah meridhainya," Apa kabarmu?" Beliau menjawab," Kabarku adalah aku makan rejeki dari Tuhanku tetapi aku belum menegakkan syukur terhadap-Nya."
Juga pernah ditanyakan kepada Nabi 'Isa as," Apa kabarmu?" Beliau menjawab," Aku tidak mampu memililki sesuatu yang bermanfaat yang aku harapkan, tidak pula mampu menolak sesuatu yang aku takutkan, sedangkan diriku tergadai oleh amal-amalku, sementara segala keputusan ada di tangan selainku (Allah swt). Tidak ada yang lebih fakir dibandingkan diriku."
Ditanyakan kepada al-Rabi' bin Khaitsam, semoga Allah merahmatinya," Apa kabarmu?" Lantas beliau menjawab," Kabarku adalah aku orang yang lemah lagi berdosa, selalu makan rejeki dari Tuhanku, tetapi aku mendurhakai-Nya."
Ditanyakan pula kepada Abu Malik bin Dinar, semoga Allah merahmatinya," Apa kabarmu?" Lalu beliau menjawab," Kabarku adalah umurku terus berkurang dan dosa terus bertambah."
Sementara saat ini ada orang-orang yang jika ditanya apa kabar mereka, dengan penuh semangat mereka menjawab:
"Super!"
"Luar Biasa!"
"Dahsyat!"
Padahal pernah ditanyakan kepada Hamid al-Laffaf, semoga Allah merahmatinya, "Apa kabarmu?" Beliau menjawab,"Selamat lagi sentosa." Lalu Hatim al-Ashamm menanggapinya, "Wahai Hamid, selamat dan sentosa keduanya hanya terjadi setelah seseorang melewati shirath (jembatan Neraka) dan masuk surga." Berkata Hamid, "Engkau benar."
Wallahu 'alam
Leave a Comment